Penulis : Kelvin Putra Kahimpong
Tren(lain-sisi.com)--Di era digital yang serba cepat ini, TikTok hadir bukan hanya sebagai aplikasi hiburan semata, tapi juga sebagai ruang sosial yang membentuk cara berpikir, merasa, dan bertindak—terutama di kalangan remaja. Kehadiran TikTok membawa banyak dampak, baik secara positif maupun negatif. Salah satu fenomena yang mulai terlihat adalah munculnya standar ganda dalam kehidupan para penggunanya, terutama remaja yang masih dalam proses pencarian jati diri.
Remaja masa kini tumbuh dalam budaya media sosial yang menuntut eksistensi dan validasi. Mereka melihat ribuan video yang memperlihatkan gaya hidup serba sempurna: tubuh ideal, wajah mulus tanpa jerawat, rumah estetik, pacar yang romantis, dan berbagai kemewahan lain yang dikemas dalam durasi 15 detik hingga satu menit. Sayangnya, kehidupan yang ditampilkan di TikTok sering kali tidak mencerminkan kenyataan, namun versi terbaik dari kehidupan seseorang yang telah dipoles dengan filter dan editing.
Fenomena ini selaras dengan temuan Chou & Edge (2012) yang menyatakan bahwa media sosial membuat orang cenderung meyakini bahwa orang lain lebih bahagia dan sukses dibanding diri mereka sendiri. Akibatnya, banyak remaja merasa harus menjalani dua kehidupan—yang pertama, versi asli dari diri mereka yang penuh kekurangan, dan yang kedua, versi ideal yang ditampilkan di media sosial demi mendapat pengakuan. Inilah yang disebut sebagai standar ganda: ketika nilai-nilai dan tindakan berubah tergantung pada ruang sosial yang mereka tempati.
Tak hanya itu, paparan tren yang datang silih berganti juga membuat banyak remaja mengalami kebingungan identitas. Menurut Erikson (1968), masa remaja adalah fase penting dalam pembentukan identitas diri. Ketika terlalu banyak pengaruh eksternal yang bertentangan, hal ini bisa memicu kebingungan identitas dan tekanan psikologis, termasuk kecemasan dan rendahnya harga diri (Twenge & Campbell, 2018).
Namun, tidak adil rasanya jika kita hanya melihat TikTok dari sisi negatif. Di sisi lain, platform ini juga membuka berbagai peluang yang tak bisa diabaikan. Banyak remaja justru menemukan potensi dan jalan rezeki melalui konten yang mereka buat. TikTok telah menjadi lapak digital bagi penjual makanan rumahan, pakaian, kerajinan tangan, bahkan jasa edukasi. Dengan kreativitas dan konsistensi, remaja bisa menghasilkan uang dan membangun personal branding sejak usia muda.
Sebuah laporan dari Influencer Marketing Hub (2023) menunjukkan bahwa semakin banyak pengguna TikTok yang berhasil memonetisasi konten mereka, baik melalui fitur TikTok Shop, afiliasi, promosi produk, hingga kerja sama brand. Ini membuktikan bahwa media sosial juga bisa menjadi ruang produktif jika digunakan secara strategis.
Selain itu, TikTok juga menjadi sarana belajar yang menyenangkan. Banyak konten edukatif yang dikemas dengan cara ringan, mulai dari pelajaran sekolah, skill digital, motivasi hidup, hingga informasi seputar kesehatan mental. Kemampuan berbicara, mengedit video, berpikir kreatif, dan berani tampil di depan kamera pun ikut berkembang seiring waktu (Anderson & Jiang, 2018).
TikTok adalah cerminan zaman. Ia bisa menjadi alat yang membawa manfaat besar, atau sebaliknya, menjadi sumber tekanan sosial yang membebani. Semuanya tergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Oleh karena itu, penting bagi remaja untuk mulai membangun kesadaran akan siapa diri mereka sebenarnya, dan tidak membiarkan media sosial mendikte standar hidup mereka.
Dalam menghadapi era digital ini, kuncinya adalah keseimbangan: berani mengekspresikan diri, tapi tetap menjaga keaslian. Mengikuti tren, tapi tetap punya batas. Dan yang paling penting, menjadi pengguna media sosial yang sadar, bukan yang terseret arus.